BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dunia
sekarang sedang mengalami perkembangan teknologi secara besar-besaran. Hal ini
dapat kita rasakan dalam berbagai bidang, salah satunya adalah bidang
kedokteran. Sebagai contoh dari perkembangan teknologi kedokteran adalah
ditemukannya ilmu biologi molekuler. Biologi molekuler merupakan salah satu
cabang biologi yang merujuk kepada pengkajian mengenai kehidupan pada skala
molekul. Ini termasuk penyelidikan tentang interaksi molekul dalam benda hidup
dan kesannya, terutama tentang interaksi berbagai sistem dalam sel, termasuk
interaksi DNA, RNA, dan sintesis protein, dan bagaimana interaksi tersebut
diatur. Biologi molekuler memberikan kontribusi yang amat sangat nyata dalam
bidang kedokteran. Dahulu, untuk mengetahui penyakit yang diderita harus dengan
menemukan organisme penyebab penyakit tersebut didalam tubuh. Dan jika tidak
ditemukan pasien dinyatakan negatif dan tidak diberikan tindakan apapun.
Padahal kenyataanya tidak semua penyakit organisme penyebabnya dapat ditemukan
dengan mudah. Namun dengan adanya biologi molekuler dokter dapat memeriksa
penyebab sampai dengan pada DNA pasien.
Sehingga nyata benar ilmu tersebut
sangat bermanfaat. Biologi molekuler juga dapat mendeteksi penyakit-penyakit
yang bersifat genetis. Dalam skenario kali ini membahas tentang penyakit
thalassemia. Thalassemia adalah penyakit herediter yang disebabkan oleh adanya
kekurangan rantai globin pembentuk hemoglobin (Hb), baik rantai globin α
(Thalassemia α) maupun rantai globin β (Thalasemia β). Thalassemia termasuk
penyakit akibat gangguan gen tunggal (single gene disorders) dengan pola
pewarisan yang menuruti hukum-hukum Mendel. Gangguan yang berupa kekurangan
rantai globin tersebut menimbulkan serangkaian gejala klinis dan laboratorik,
yang dapat ditemukan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik. Namun pada
penderita-penderita tertentu gejala klinis maupun fisik sangat minim atau
bahkan tidak ada. Keadaan seperti ini umumnya didapat pada penderita
heterozygot atau yang bersifat minor. Dalam keadaan ini diagnosa hanya dapat
ditegakkan melalui analisis DNA. Inilah yang dimaksud dengan diagnosis
molekuler. Dahulu bayi yang lahir dengan kelainan darah, meninggal pada usia kurang
dari setahun. Namun sekarang ini sebagian bisa besar selamat dengan diagnosis
dan penatalaksanaan lebih lanjut.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian dari PCR?
2. Apa
Kegunaan dari PCR?
3. Jelaskan
komponen-Komponen dari PCR?
4. Bagaimana
prinsip dasar dari reaksi PCR?
5. Bagaimana
aplikasi PCR di bidang klinis?
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN
1. Untuk
melengkapi tugas bio molekuler
2. Menjadi
Pegangan bagi Mahasiswa
3. Menjadi
referensi tambahan yang menunjang keberhasilan pembelajaran mata kuliah Biologi
Molekuler.
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
2.1
PENGERTIAN PCR
Polymerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi berantai polymerase adalah
metode enzimatis untuk melipat gandakan (amplification) secara
eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu secara in vitro (Newton and
Graham, 1994). Metode ini ditemukan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985,
seorang saintis dari perusahaan CETUS Corporation. Metode PCR ini pada
awalnya hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, akan tetapi dalam
perkembangannya dapat digunakan untuk melipatgandakan molekul mRNA (Doyle and
Doyle, 1987).
Metode PCR dapat melipat gandakan suatu fragmen
molekul DNA menjadi molekul DNA (110 bp / 5 x 10-19) sebesar 200.000 kali
setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit (Newton and Graham, 1994).
Kelebihan dari metode PCR adalah DNA cetakan yang digunakan juga tidak perlu
dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk
melipatgandakan suatu sekuen DNA dalam genom bakteri hanya dengan mencampurkan
kultur bakteri di dalam tabung PCR (Azrai, 2005).
Selain itu pengertian PCR
adalah reaksi polimerase berantai, yaitu reaksi yang melibatkan enzim
polimerase yang dilakukan secara berulang-ulang. Yang diulang-ulang adalah
proses pemisahan untai ganda DNA menjadi untai tunggal, hibridisasi
primer untuk mengawali replikasi DNA dilanjutkan dengan proses penambahan basa
pada cetakan DNA oleh enzim polimerase, untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan
tabung PCR yang bersifat reponsif dengan perubahan suhu dan mesin thermal
cycler, suatu mesin yang mampu menaikkan dan menurunkan suhu dengan cepat, dan
bahan-bahan untuk membuat reaksi PCR.
2.2
KEGUNAAN PCR
Saat ini PCR juga sering digunakan untuk
membuat fragmen DNA spesifik untuk diinsersikan secara langsung ke dalam suatu
vektor, sehingga tidak memerlukan tahapan skreening suatu perpustakaan
DNA.
2.3
KOMPONEN PCR
a.
DNA
DNA yang
dimaksud disini adalah DNA yang berfungsi sebagai cetakan (template). Untuk aplikasi PCR, kemurnian DNA mempengaruhi hasil.DNA
yang tidak murni sering menyebabkan masalah reproduksibilitas, tujuan utama
juga digunakan untuk diagnosis. DNA yang digunakan harus dimurnikan dahulu
sebelum diproses dengan PCR. DNA yang digunakan sebagai cetakan untuk PCR
sebaiknya bebas nukleuse, endo-atau eksoprotease, dan DNA-binding protein.
b.
Primer
Primer
berfungsi mengawali reaksi replikasi DNA pada reaksi PCR. Primer yang
dibutuhkan untuk PCR biasanya satu pasang yaitu primer forward dan backward.
Primer PCR sendiri adalah komponen yang sangat menentukan keberhasilan PCR. Ada
beberapa program untuk mendesain primer PCR yang dapat digunakan secara gratis,
seperti MEDUSA, Primer3, PrimerQuest, FastPCR, dan lain-lain.
c.
Dntp (Deoxynucleotide
triphosphate)
dNTP merupakan
blok pembangun molekul asam nukleat yang terdiri dari dATP (deoxydenosine tryphosphatase), dTTP (deoxythymidine triphophatase), dCTP (deoxycytosine triphosphate), dan dGTP (deoxyguanosine triphosphatase). Dalam
beberapa aplikasi dan protokol PCR, salah satu dari empat dNTP tersebut dapat
diganti elemen analog. Modifikasi ini berguna untuk aplikasi yang berbasis
pasca-PCR (misalnya : sekuensing, pembuatan probe untuk Southern blotting, dll)
d. Polimerase DNA
Ketika terjadi
sintesis DNA,enzim polimerase DNA akan melakukan seleksi nukleotida yang tepat
untuk ditambahkan ke primer untuk melanjutkan DNA sesuai dengan aturan pasangan
basa Watson-Crick ( A-T dan G-C ). Oleh karena itu, Polimerase DNA selalu
mengkatalis sintresis DNA dalam orientasi 5’ ke 3’. Beberapa polimerase DNA
juga memiliki aktivitas eksonuklease atau yang sering disebut dengan aktivitas proofreading yang akan memeriksa basa
yang telah ditambahkan untuk menumbuhkan untai DNA. Ketika terjadi penambahan
nukleotida yang tidak tepat aktivitas proofreading tersebut akan membuang basa
yang tidak tepat tersebut.
Mekanisme
koreksi ini akan meningkatkan akurasi atau yang disebut juga dengan fidelitas.
Ketika membandingkan atau memilih polimerase DNA untuk PCR ada dua hal yang
penting yang harus dilihat yaitu fidelitasnya dan efisiensi sintesisnya. Yaitu
makin tinggi fidelitas dan efisiensi sintesisnya makin baik polimerase DNA
tersebut (dan makin mahal juga harganya).
e.
Bufer reaksi PCR
Bufer reaksi PCR biasanya
mengandung Mg2+, kation monovalen, dan beberapa co-solvent. Co-solvent membantu menstabilisasi enzim polimerase
DNA, mempengaruhi kerja enzim, dan atau DNA melting
temperature ( Tm). Ion Monovalen seperti Na+, K+, dan
NH4+ menstimulasi aktivitas polimerase DNA dan melindungi muatan
negatif gugus fosfat DNA, sehingga melemahkan kekuatan kekuatan elektronik yang
saling menolak antara primer dan DNA target.
2.4
PRINSIP DASAR REAKSI PCR
PCR merupakan tehnik
amplifikasi DNA selektif in vitro
yang meniru fenommena replikasi DNA in
vivo. Komponen reaksi yang diperlukan dalam teknik ini adalah untai tunggal
DNA sebagai cetakan, primer (sekuens oligonukleotida yang
mengkomplementeri akhiran sekuens cetakan DNA yang sudah ditentukan),
dNTPs (deoxynucleotide triphosphates),
dan enzim TAQ polimerase yaitu enzim dari bakteri Termovilus aquatikus.
Sejak ditemukannya struktur DNA
untai ganda, kita mulai memahami prinsip replikasi DNA terutama kaitannya
dengan mekanisme transfer materi genetik. Seperti yang telah dijelaskan dalam
materi Asam Nukleat dalam struktur DNA untai ganda tersebut, basa A dan T ,
juga C dan G , memiliki ikatan hidgrogen yang mudah dirusak dan mudah dibentuk
kembali. Untuk melakukan replikasi, mula-mula ikatan hidrogen tersebut harus
dirusak dahulu agar DNA untai ganda berubah menjadi untai tunggal. Kemudian
karena A selalu berpasangan dengan T, dan C selalu berpasangan dengan G, maka
jika kita memiliki satu untai DNA dengan sequens ACTAG, misalnya, maka kita dapat
mencetak untai komplementernya, yaitu TGATC, begitu juga sebaliknya.
Pada prinsipnya, reaksi PCR (
protokol PCR konvensional ) membutuhkan tiga tahap :
1)
Denaturasi (Melting)
Prinsipnya
adalah memisahkan DNA untai ganda menjadi komponen untai tunggal, sehingga
memungkinkan terjadinya hibridisasi primer PCR untai tunggal pada sekuen
targetnya ( jika ada )
2)
Annealing
Primer PCR
Pada tahap ini terjadi
hibridisasi primer PCR pada sekuens tergetnya. Secara umum suhu annealing
PCR biasanya berasal dari suhu annealing
primer hasil kalkulasi matematis dikurangi 50 C ( rumus: 4 x ( B+C)
+ 2 x ( A + T ) ). Diharapkan dalam suhu annealing
tersebut primer dapat berikatan dengan target komplomentarinya dan jika sudah
terhibridisasi tidak mudah mengalami disosiasi. Waktu yang dibutuhkan untuk
tahapan ini biasanya 15-60 detik.
3)
Elongasi (
ekstensi rantai DNA )
Tahap ini penting untuk mengamplifikasi daerah yang sudah dihibridisasi
oleh primer, dari akhiran -5 ke akhiran -3. Sebagian besar enzim polimerase
membutuhkan suhu elongasi 720C. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam
menentukan langkah elongasi adalah waktu inkubasi,yaitu sebaiknya cukup lama
bagi polimerase DNA untuk mengamplifikasi sekuens target secara komplit tetapi
cukup sebentar untuk mencegah amplifikasi produk non-spesifik yang lebih
panjang daripada sekuens target.
2.5 APLIKASI PCR DI BIDANG KLINIS
Aplikasi PCR utama di bidang klinis adalah untuk diagnosis, dan kloning.
Yang paling sering dipakai di bidang klinis saat ini adalah untuk diagnosis,
yaitu untuk deteksi patogen infeksius dan identifikasi mutasi pada gen yang
berkaitan dengan faktor resiko penyakit.
Untuk aplikasi PCR dibidang klinis tersebut,
telah dikembangkan berbagai macam teknis berbasis PCR, antara lain :
1.
RFLP-PCR (restriction fragment lenght polymorphisms)
Pada
prinsipnya, teknik ini dimanfaatkan untuk deteksi polimorfisme. Secara umum
teknik ini menggunakan enzim restriksi untuk mengetahui adanya polimorfisme
(RFLP), dan produk hasil digesti tersebut diamplifikasi dengan PCR (RFLP-PCR).
Teknik PCR
yang mirip dengan teknik diatas AFLP-PCR (amplification
fragment lenght polymorphisme) yang digunakan untuk membedakan isolat atau
spesies yang berbeda berdasarkan daerah enzim restriksi (polimorfisme daerah
restriksi)
2.
VNTR-PCR (variable number of tandem repeat sequence),
dan STR-PCR (short tandem repeats).
Teknik ini sering digunakan untuk tujuan forensi. Dengan menggunakan primer
yang tepat, variasi sekuens pengulangan berurutan yang terdapat pada DNA sampel
dapat diketahui.
3.
Skreening /
deteksi mutasi berbasis PCR
Dahulu, skreening/ deteksi
mutasi dapat dilakukan dengan PCR konvensional (misalnya dengan BESS-T-Scan (Base Excision Sequence Scanning)) untuk
mendeteksi mutasi T/A atau T / A, atau Amplification
refractory mutation system (ARMS) untuk mendeteksi point mutation melalui
priming oligonukleotida kompetitif.
4.
PCR
kuantitatif
Untuk keperluan
diagnosis dan penilaian kemajuan tetapi kadang membutuhkan pemeriksaan yang
bersifat kuantitatif.
PCR
konvensional dapat digunakan untuk mendapatkan data kuantitatif tersebut dengan
menggunakan kompetitor (internal
exogenous standard) atau dengan housekeeping
gene (internal endogenous standard).
Namun saat ini, penggunaan PCR konvensional untuk PCR kuantitatif telah
digantikan real-time PCR.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
PCR ( Polimerase Chain Reaction) Adalah suatu teknik untk mensintesis asam nukleat atau gen
tertentu in vitro secara enzimatis. PCR merupakan
teknik yang sensitive, spesifik dan singkat. Penggunaan PCR untuk membandingkan
gen klon abnormal dengan gen klon serta analisis forensic evolusi untuk
jaringan.
Polymerase
Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi
penyakit infeksi. Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan metode
diagnosis konvensional seperti imunologi dan mikrobiologi.
Saat ini PCR juga sering digunakan untuk
membuat fragmen DNA spesifik untuk diinsersikan secara langsung ke dalam suatu
vektor, sehingga tidak memerlukan tahapan skreening suatu perpustakaan
DNA.
Komponen-komponen PCR ada 5 yaitu: DNA, Primer, Dntp (Deoxynucleotide
triphosphate), Polimerase DNA, Bufer reaksi PCR. Pada
prinsipnya, reaksi PCR ( protokol PCR konvensional ) membutuhkan tiga tahap
yaitu Denaturasi (Melting), Annealing Primer PCR, Elongasi ( ekstensi
rantai DNA ). Aplikasi PCR utama di bidang klinis adalah untuk diagnosis,
dan kloning.
3.2 SARAN
Melalui
pembahasan diatas diharapkan pembaca dapat mengaplikasikan PCR ini dalam dunia
kerja kelak.
0 komentar:
Posting Komentar